Lama tak posting! Yah, seminggu ini saya benar-benar tak punya waktu luang untuk blogging. setiap waktu luang yang ada dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk berlatih, musik dan tarian adat untuk nilai ujian praktek kesenian. Belum lagi segala ujian dan try out yang bertumpuk-tumpuk. Ukh! Saya minta maaf, kepada tetangga yang sudah berkunjung ke sini tapi belum juga mendapat kunjungan balik dari saya....
Mungkin saya belum bisa post yang aneh-aneh dulu. Jadi sekarang saya mau post cerpen saja, yang Alhamdulillah telah dimuat di koran Singgalang, edisi rabu, 16 Februari 2011, beredar di Sumatra Barat dan sekitarnya...
Enjoyed it! :)
Sebuah Keinginan
By: Aul Howler (Nama pena. Yang di koran nama asli)
“Titt… titt… titt…”
Terdengar
suara-suara aneh. Berdenging, berulang-ulang. Nyaring, mengiang-ngiang. Mirip
suara jarum detik, tapi lebih tinggi dan terdengar bernada. Lagipula jarum
detik bunyinya tik-tik-tik, bukan tit-tit-tit. Suara itu berbunyi lagi dan
lagi, seakan tiada akan henti. Dan tak ada suara lain selain tit-tit-tit yang
memekakkan telinga itu. Tak ada? Ya, tak ada. Hanya suara itu saja.
Tidak,
tidak. Samar-samar aku bisa mendengar suara lain. Suara denyut. Berangkai dua
dua, mengalun dengan ritme yang sedikit bimbang, ragu-ragu. Mungkin karena
hanya terdengar samar, kadang-kadang tak kedengaran. Suara apa itu? Rasanya
pernah kudengar.
Hmmm… Oh, iya! Suaranya mirip suara
degup jantung si Raka, saat kulekatkan stetoskop di dadanya waktu praktek di
jam olahraga. Dulu, semasa SD.
Ah, tapi
dia kan sudah
pindah ke Jakarta?
Mustahil yang kudengar sekarang degup jantungnya. Apakah degup jantung ibu?
Atau ayah? Atau Mira? Ah, kurasa itu juga tak mungkin. Aku tak punya stetoskop
sekarang.
Apa ini
suara degup jantungku? Ya, ya. Mungkin suara degup jantungku. Sebab tak ada
suara orang di sini, selain bunyi tit-tit-tit sial itu, belum juga mau
berhenti. Lucu juga, suara tit-tit-tit dan suara degup jantungku bila disimak
baik-baik seperti musik. Mungkin aku bisa bernyanyi?
Ah, kenapa
ini? Mulutku tak mau terbuka? Biasanya bibirku bergerak bila aku hendak
bernyanyi, atau bersenandung. Tapi sekarang, kok tak bisa? Ah, biar kucoba
sekali lagi. Ummph… Umphh… Iya! Benar-benar tidak bisa. Bahkan aku mulai merasa
tak yakin mulutku ada. Benar-benar serasa tak ada. Ya Tuhan, kemana perginya
mulutku?
Ah, masa
iya mulutku tak ada? Coba kuraba dulu. Urgh…! Urgh…! Kenapa ini? Kenapa
tanganku juga tak bisa digerakkan? Urgh… iya! Tidak bisa. Masih tidak bisa
bergerak. Bagaimana ini? Aduh, bagaimana ini?
Ah, mungkin
kalau aku membuka mataku, aku bisa melihat tanganku. Barangkali terkilir,
makanya mati rasa. Baiklah, biar kucoba membuka mata. Aduh! Perih! Kenapa ini?
Mataku juga tak bisa dibuka! Kenapa ini? Apa mataku terluka? Kenapa setiap
kucoba untuk membukanya terasa perih?
Ya ampun,
apa-apaan ini? Kenapa ini bisa terjadi? Ah, pikiranku dan kecemasanku menumpuk
di kepala, membuat kepalaku terasa berdenyut-denyut ngilu. Dan dahiku! Dahiku
terasa ngilu sekali. Belum pernah aku merasakan hal ini. Kenapa ini? Ah, hatiku
tiba-tiba terasa sedih. Dan di bawah dahiku terasa hangat, seperti ada yang
mengalir. Air matakah? Mustahil, aku tak pernah menangis lagi sejak umur tujuh
tahun, saat Jeki memukul kepalaku dengan tangkai sapu hingga bengkak.
Mengalir
lagi. Terasa seperti air. Berarti ini memang airmata. Aneh sekali! Mataku tak
bisa terbuka tapi air mataku bisa keluar!
“Mas! Mas!
Arka menangis!!”
Terdengar
suara wanita menjerit – Oh ya, aku baru sadar. Ternyata semua bagian tubuhku
tak terasa fungsinya kecuali telinga. Aku bisa mendengar – dan wanita itu masih
menjeritkan kata Mas.
Terdengar
suara langkah-langkah kaki. Beriringan. Ada
langkah berat dan langkah-langkah kecil. Hmm… mungkin lebih dari satu orang.
“Reni, kamu
jangan begitu. Aku paham kamu rindu sekali pada Arka. Tapi tak perlu sampai mengarang
hal yang aneh-aneh begitu.” Suara pria itu terdengar parau.
“Aku nggak
bohong, Mas! Itu, lihat sendiri!”
Terdengar
lagi langkah kaki. Semakin dekat, bertambah dekat, dan aku merasa dahiku
dibelai. Tangan yang hangat. Aku suka dibelai seperti itu. Dahiku yang tadi
terasa ngilu perlahan mulai normal lagi.
“Arka…
Bangun lah nak… Ini Ibu. Ibu di sini nungguin kamu.”
Ibu? Ya
ampun, Ibuku! Ibuu!! Ingin aku berteriak, tapi mulutku masih tak terasa. Aku
masih tak bisa bicara, apalagi berteriak. Tangan. Tanganku pun masih belum bisa
digerakkan. Aku ingin memegang tangan ibu yang masih membelai dahiku. Ahh…
tanganku tak terasa juga. Mata. Aku ingin melihat Ibu. Aku ingin melihat Ibuku.
Arghh... Tapi mataku juga tak bisa dibuka. Semuanya masih gelap. Gelap sekali.
Seperti malam hari di dalam kamar, tanpa lampu. Benar-benar gelap, tak ada yang
bisa dilihat selain hitam.
“Arka,
bangunlah. Ini Ayah. Ini ayah nak.”
Terasa
sebuah tangan lagi. Yang ini rasanya agak kasar dan kaku, tapi juga hangat.
Seperti tangan ibu. Ayah! Ayahku! Oh, Aku ingin sekali melihat ayah. Aku ingin
sekali menggenggam tangan ayah. Aku ingin sekali bilang, “Ayah, Arka sayang Ayah”.
Tapi tak bisa. Mata, tangan dan mulutku masih tak bisa diapa-apakan.
“Kak, ayo
bangun. Aku kangen kakak,”
Siapa itu?
Kedengarannya seperti suara seorang gadis. Siapa? Kenapa dia memanggilku kakak?
Aku tak punya adik sebesar itu kan?
Adikku Mira masih cadel, umurnya baru tiga setengah tahun. Oh, mungkin ini
temanku, atau anak tetangga?
Ah, di
sekitarku telah berkumpul keluargaku. Keluarga yang sangat aku sayangi. Tapi
aku tak bisa apa-apa sekarang. Mulutku tak bisa bicara. Tanganku tak bisa digerakkan.
Dan mataku, belum bisa kugunakan untuk melihat mereka. Bagaimana caranya mengatakan
“Aku sayang kalian.” kepada mereka? Bagaimana caranya memberitahu mereka bahwa
aku mendengar mereka bicara?
Ah,
tiba-tiba hatiku menjadi sedih lagi. Dadaku terasa sesak, menahan kesedihan.
Dan tanpa kusadari, ada air lagi yang mengalir di pipiku.
“Ayah! Ibu!
Kakak menangis!” gadis itu menjerit histeris.
“Arka, ini
Ibu nak. Ini ibu”
“Di sini
juga ada Ayah, nak”
“Kak, Aku
juga di sini. Ayo bangun”
Dan suara
orang-orang di sekitarku menjadi-jadi. Berulang-ulang. Berkali-kali namaku
disebut. Aku mendengar mereka. Aku ingin mereka tahu itu. Tapi aku masih belum
bisa. Lagi-lagi aku hanya bisa mengeluarkan airmata. Mereka semakin histeris
bicara, memanggil-manggilku untuk bangun. Ah, kepalaku jadi ngilu.
Berdenyut-denyut. Sakit.
Terdengar
suara pintu terbuka, dan suara ibu terdengar lagi, “Dokter! Arka mengeluarkan
air mata! Apa itu tanda dia telah sadar?”
Hening. Tak
terdengar suara jawaban. Kali ini suara ayah yang terdengar, dengan pertanyaan
yang sama. Tapi masih hening, tak ada jawaban.
Saat suara
gadis yang memanggilku kakak tadi terdengar juga, dengan pertanyaan yang masih
sama, barulah terdengar suara lain. Suara wanita yang sudah berumur.
“Mungkin
dalam matanya ada debu, sehingga air matanya secara alami keluar,”
“Tapi Dok,
kalau dia menangis berarti dia sudah sadar, kan?” Ibu bersikeras.
Hening
lagi. Lalu dokter menjawab, “Mungkin begitu bila matanya terbuka. Tapi ini…”
Ah, aku
sudah sadar kok! Aku bisa mendengar kalian semua! Aku bisa mendengar dokter,
ibu, ayah dan gadis itu bicara. Aku sudah sadar, hanya saja aku tak bisa
membuka mata!
Terdengar
suara pintu ditutup, dan suara ibu menangis sesenggukan.
“Arka.
Bangun lah, Nak. Ibu ingin dengar kamu memanggil ibu. Seperti terakhir kali
sebelum…” Suara ibu berhenti sejenak, “Sebelum tawuran yang sial itu.”
Ya Tuhan. Aku ingat sekarang.
Kemarin sekolahku diserang, oleh sekawanan siswa sekolah lain. Mereka melempari
sekolahku dengan batu, membuat kaca di kelas yang paling ujung di dekat gerbang
sekolah pecah. Murid-murid perempuan menjerit-jerit, dan kami para murid lelaki
tak bisa tinggal diam.
Itu kali
pertama aku ikut tawuran. Awalnya aku tak mau, karena ibu pernah berpesan agar
aku tak boleh ikut-ikutan tradisi tawuran antar sekolah itu. Tapi karena Joyo
si ketua kelas memaksa semua murid ikut menyerang balik, aku tak bisa menolak.
Dimana harga diriku bila aku tak ikut berjuang membela sekolah? Aku tak mau
dianggap banci oleh teman-teman. Bisa-bisa aku tak punya teman lagi.
Ternyata
tawuran itu tak seseram yang dikatakan ibu. Menurut ibu, tawuran itu
membahayakan keselamatan, karena seringkali ada yang membawa senjata. Buktinya
tidak. Aku dan teman-teman merasa senang membalas lemparan batu. Aku merasa
seperti pahlawan, dapat membela sekolah kami. Dapat menghancurkan sekolah
musuh.
Menurut
ibu, orang yang ikut tawuran itu akan ditangkap polisi, karena seringkali
senjata yang dibawa pelaku tawuran itu melukai orang lain. Nyatanya tidak. Aku
dan teman-teman hanya melempari sekolah musuh kami dengan batu. Memecahkan
jendela-jendelanya, atau membuat gaduh dengan membidik atap-atapnya.
Tapi, aku
kaget saat beberapa temanku mengeluarkan bermacam-macam benda dari dalam tas
mereka. Pisau-pisau kecil, ketapel, ikat pinggang bergagang plastik keras
dengan kepala baja, senapan mainan berpeluru paku, dan… Ya ampun! Ada samurai juga!
Tentu aku
memprotes mereka, karena itu bisa melukai orang lain. Salah-salah ternyata
musuh juga membawa senjata yang sama, dan bila ada teman mereka yang terluka oleh
pihak kami, maka kami juga berkemungkinan akan dilukai. Atau bisa-bisa kami ditangkap
polisi. Tapi teman-temanku bilang, senjata itu hanya untuk berjaga-jaga.
Dan aku
panik, saat gerombolan tawuran berteriak. Saling mendekat mengacungkan senjata
masing-masing. Aku tak bergerak dari tempatku, hanya bisa menatap dengan tubuh
gemetaran. Dari kejauhan bisa kulihat satu dua orang yang berkelahi di depan sana berdarah! Berdarah!
Ibu benar!
Apa yang dikatakan ibu benar! Tawuran itu berbahaya! Aku harus segera lari,
harus! Sebelum semuanya terlambat. Aku harus segera pergi dari sini, batinku.
Tiba-tiba
terdengar sirine polisi. Aku makin panik. Bagaimana ini? Kalau aku ditangkap
juga, habislah aku. Bisa-bisa ibuku ikut dibawa-bawa. Tidak. Aku harus segera
bersembunyi! Tak sempat lagi berlari. Aku harus sembunyi!
Bisa
kulihat gerombolan tawuran itu berhamburan, berlarian ke segala arah. Sebagian
mencari gang dan rumah-rumah penduduk sekitar untuk bersembunyi. Ah, aku
bersembunyi di rumah berpagar putih itu saja. Kelihatannya tidak ada orangnya.
Mungkin tak ada yang akan menemukan kalau aku bersembunyi di sana.
Segera
kulompati pagar itu. Oh, tidak! Ada
dua orang murid sekolah musuhku tengah bersembunyi pula di sana. Tangan mereka berdarah, sepertinya
tergores pisau saat berkelahi tadi. Mereka berdiri, mengambil ancang-ancang
ingin mengejar, membuatku segera berlari. Gawat kalau sampai mereka
mendapatkanku. Bisa-bisa aku jadi bulan-bulanan. Bisa-bisa aku dilukai sebagai
pembalasan sikap teman-temanku terhadap mereka.
Ah, sekarang
aku harus berpikir puluhan kali untuk mengingat teman-temanku sebagai teman.
Mereka menjerumuskanku! Mereka menyebabkan aku mengalami hal ini. Aku tak mau
berteman dengan mereka lagi! Dan secepat kubisa aku berlari, dan berlari.
Hingga sebuah rumah tak berpagar sekonyong-konyong muncul di hadapanku.
Baiklah, aku bisa bersembunyi di sana.
Aku pasti aman dari polisi maupun musuh-musuhku.
Sesaat aku
terkesiap, saat mencari tempat bersembunyi di belakang rumah itu. Segerombolan
murid sekolah musuhku juga tengah bersembunyi di sana. Aku berusaha lari lagi, tapi mereka
memegangiku. Kepalaku dihantam sebuah benda yang keras, dan aku tak ingat
apa-apa lagi.
Kurasakan
air hangat meleleh lagi ke pipiku. Kalau begitu gara-gara tawuran itulah
sekarang aku di sini. Terbaring di rumah sakit, dengan mata tak bisa dibuka,
tangan dan kaki yang tak bisa digerakkan, dan mulut yang tak bisa berkata-kata.
Sayup-sayup masih kudengar suara isakan ibu, disertai penyesalannya membiarkanku
ikut dalam tawuran itu. Perlahan makin kabur, tapi masih kudengar ibu
menyebut-nyebut soal geger otak dan lumpuh. Dan sebelum semuanya makin kabur,
sempat kudengar ayah menenangkan ibu, dan memintanya kembali bersabar seperti
yang telah mereka lakukan lima
tahun ini, selama aku koma.
Oh, tidak! Apakah yang geger otak
dan lumpuh itu aku? Dan apakah… Aku telah lima
tahun di rumah sakit ini, membuat orang tuaku menunggu? Bukannya tawuran itu
baru kemarin? Tapi kenapa ayah bilang, lima
tahun mereka bersabar menungguku sadar dari koma? Kalau begitu… Apa suara gadis
tadi memang benar Mira, adikku yang dulu masih cadel? Ya Tuhan, benarkah
demikian…?
Air mataku mengalir lagi. Bisa
kurasakan hangatnya menjalari pipiku. Maafkan aku, ibu. Maafkan aku, ayah. Maafkan
kakak, Mira. Ah, aku ingin segera bangun dan minta maaf. Tapi mulutku terkunci,
suaraku tak keluar. Tangan dan kakiku masih tak bisa digerakkan, dan mataku
masih tak bisa dibuka. Kulakukan segala cara untuk membuat mereka tahu aku
telah sadar dan dapat mendengar mereka. Aku punya keinginan. Aku ingin segera
minta maaf, sebelum aku...
Ah, kenapa ini? Tiba-tiba rasanya
sulit bernafas. Dadaku terasa sesak. Badanku mulai terasa panas, dan rasanya
makin sulit bernapas. Ada
apa ini? Rasanya makin sesak! Nafasku habis! Aku masih ingin bicara pada
keluargaku! Aku masih ingin minta maaf!
Padang, 1 Desember 2010
dadaku sesak membacanya
BalasHapusToT
@Awin:
BalasHapusHehe...
Terbawa suasana atau pengen ngeledek nih :)
terbawa suasana dan memang lagi galau
BalasHapuskalo mau ngeledek uda dr kemaren2 lagi
bg Aul punya fans tuh anak smansa
cie cie
aaaaaaaaaahh salah acc!
BalasHapusmaaaaaaaapp ToT
-awin-
promote this blog!
wih.. keren ceritanya, rumitt.. hehee
BalasHapusWah..
BalasHapusini cerita beralur maju mundur dengan sudut pandang orang pertama.. :D
Bagus2.. Saya suka..
Endingnya pun gantung, mungkin memang itulah kata2 batin terkhirnya selama masih bisa hidup. Ga ada terusannya lagi karna sudah menghadap ilahi :D
Koma bener2 bisa selama itu ya bang?
wah kereen! :D
BalasHapussaya suka endingnya.
BalasHapustapi bagi saya bahsa sangat sederhana.
@Singgalang masuk sekolah:
BalasHapusit's okay! :)
@Rizkimufty:
BalasHapusHehe...
makasih ki :)
gakserumit itu juga kok :)
@Hamadzi:
BalasHapusHehe...
makasih...
:)
Ya nggak lah..
namanya juga fiksi kan, jadinya bang Aul ngarang itu. hehe
@Qistina:
BalasHapusMakasih :)
salam kenal Qisti:)
@ Bang Zulmasry:
BalasHapusHehe. begitulah bang.
Aul memang bukan penulis profesional yang bahasnaya sangat sastrawi...
hehe...
cuma murid SMA biasa yang senang menulis, dengan bahasa seadanya. Yah, minimal bisa dipahami siapa saja (khususnya remaja) karena kebetulan cerpen ini walaupun dimuat nya di koran tapi di rubrik remajanya gitu :)
@Majalah Masjid kita:
BalasHapusHehe..
di cerpen ini justru itu pesan moralnya
bahwa kekerasan di kalangan remaja itu bukan lelucon, tapi masalah serius yang bisa membahayakan siapa saja.
Semoga yang baca jadi terinspirasi untuk nggak berantem lagi ya :)
saamaaa...tos dulu ah, udah lama nggak posting juga saya, tapi untung nggak nyampe seminggu :P
BalasHapussetelah panjang membaca cerita ini, fyuh.. akhirnya saya dapet satu kesimpulan : Jangan Tawuran!.. hehehehe
Selamat yah, emang layak untuk dimuat sih..
d(^_^)b
@Gaphe:
BalasHapusHehe...
Makasih bang yoga :)
Remember kids
BalasHapusviolence iz bad D:<
hahaha
BalasHapusmalu nih sumpah pake salah acc
gak nyangka gara2 ni cerpen bnyak temen ku yang ngefans sama dikau. kesambet setan mana tuh yaaa???
*kaboooooorrr
bgus siihh..
BalasHapustpi bahsa nya kurang ngenak ul!!
cayoo..
semangat bekarya ya..
klo bsa yg penuh hikmah lgi ul!
awin: rajin bgd ngoment punya aul...
BalasHapus@kak neng hahaha abis nya sering nongol kak neng :D
BalasHapus@ Brainless :
BalasHapusYEah!
That's right :)
@ Awin:
BalasHapusKalo Awin tulalit itu bukan salah bang Aul ya...
hehe :)
@Awin lagi:
BalasHapusBilangin gih, sama yang nge-pans itu.
Tinggal add facebook atau follow dan mention di twitter aja...
bang Aul pasti bakal ladeni kok. kan bg Aul masih ramah.
Kalo nanti udah jadi seleb beneran baru deh sombong-sombong.
haha
@Annisa corp:
BalasHapusMbok ya punya blog pribadi atuh neng...
gampang kok bikinnya...
kalo sampai anak2 keputrian lain tau bisa berabe lohh..
haha
mancaap aul :)
BalasHapus@BAng Arif:
BalasHapusMAkasih bang :)
tulalit ku kumat dua hari ini aaaaa
BalasHapusgak ah aku gak mau bilang :P
dasar :p
Hapusyasudah :p
bagusss..,, kerenn
BalasHapusmakasih bang :)
Hapushehehe