Maret 19, 2015

Cerpen : Cinta Monyet

Catatan kecil yang harus dibaca dulu sebelum lanjut membaca cerpen ini :
1. Jangan tinggalkan komentar yang tidak berhubungan dengan postingan ini. For now, Spammer's not allowed.
2. Saya bukan Afgan atau Usob. So please no more saying "Mantap Gan" / "Mampir Gan" / "Keren Sob".
3. Cerpen kali ini adalah tulisan fiksi lama saya (tahun 2013) yang sangat-sangat-sangat ringan. Buat lucu-lucuan aja. Buat hiburan. jadi mohon nggak usah komentar serius sampai bawa-bawa HAM atau Agama.
4. Maaf agak ribet, tapi tiap saya publish cerpen sering kejadian begitu sih. hehe. Enjoy :)

--- CINTA MONYET ---

Hal yang paling mengesalkan bagiku adalah diragukan. Terlebih lagi diragukan oleh orang yang kuharapkan tidak akan pernah meragukanku, bahkan setelah kulakukan berbagai cara untuk meyakinkan ketidakbenaran dari keraguan yang ia tuduhkan dalam pikirannya itu.

Apalagi tentang cinta. Tidak tanggung-tanggung saudara-saudara. Tentang cinta! Hal nomor wahid paling absurd di dunia, selain makan, tidur dan buang air besar.

Nah, kekesalan yang kurasakan saat ini adalah yang paling buruk dari yang pernah ada: Cintaku diragukan! Ha! Padahal aku selalu sungguh-sungguh dalam segala hal yang kukerjakan. Sungguh-sungguh. Namun sekarang, cintaku yang sedalam lautan dan sebening sungai di pegunungan diragukan layaknya genangan air comberan di perkotaan. Keterlaluan.

“Nem, Gue cinta sama Lo.”

Inem hanya diam, tetap mematung. Sebentar ia menatap hidungku yang mirip monyet, lalu berpaling lagi dengan gerakan yang gemulai. Aduhai. Gadis yang satu ini memang benar-benar anggun. Siapa yang tak klepek-klepek.

“Nem, Gue serius,”

Inem masih diam sambil mengamati jemarinya. Lalu ia menggesek-gesekkan kuku jempol dan kelingking nya yang baru saja di-manicure. Gadis yang satu ini memang gemar merawat diri. Kelewat gemar malahan.

Aku tak menyerah, “Nem, Gue cinta sama Lo. Menurut Lo gimana?”

Inem menatapku tajam, lama. Kesempatan yang tak bisa kusia-siakan. Segera kubalas tatapannya dengan tatapan hangat penuh kasih sayang. Lama kami berpandangan, hingga akhirnya Inem bertanya dingin.

“Menurut Gue?”
“Iya!” jawabku semangat.
“Yah, itu kan perasaan Lo. Jadi menurut Gue, itu bukan urusan Gue.”

Oh No. Inem menggantung perasaanku yang lembut bagaikan cucian kotor dengan amat kejam. Benih-benih cinta yang telah lama tumbuh subur di hatiku—yang telah telah kokoh batangnya dan rimbun daunnya—dalam sekejap mulai layu. Gadis yang satu ini memang pandai mematahkan hari orang. Tapi aku tak boleh menyerah. Cinta ini harus diperjuangkan!

“Nem, cinta Gue tulus.”
“Tulus dari Hongkong,” Ledeknya sambil tertawa genit. “Lo cuma mau kekayaan ayah Gue khan?”
Wajahku merah padam, “Nggak Nem! Percaya deh sama Gue. Buat Gue kekayaan itu sama sekali nggak ada artinya!”
 
Inem tertawa lagi, “Masa? Kalo gitu yang ada artinya buat Lo apaan dong?”
“Ya, Cinta Gue ke Elo”
 
Inem bengong, “Lo cinta sama Gue?”

Aku gemas. Kalau saja bukan karena cinta, mungkin sudah kucakar mukanya yang cantik itu dengan kuku jariku sendiri. Cantik-cantik kok loading nya lama ya? Heran.

“Iya Nem, kan dari tadi juga udah Gue bilang,”
“Yakin Lo, cinta sama Gue?”
“Ya ampun. Iya Neeeem!!”
“Bukan sama kekayaan ayah Gue?”
“Bukan, Nem. Gue cintanya sama Lo aja”
“Kok Bisa?”

Aku mati kata. Mungkin ini yang tempo hari diceritakan Lewis dan Antonio, saingan-saingan cinta ku. Menurut mereka—yang sudah lebih dulu mengutarakan cinta kepada Inem—Inem akan menguji siapa saja yang berniat menjadi calon pacarnya. Ujian cinta yang lebih sulit dari Ujian Nasional anak sekolahan.

“Ya, secara Lo cantik. Lo juga baik. Yang paling penting, Lo nggak keganjenan kayak si Ipah sama si Inah. Makanya Gue bisa cinta sama Lo” Jawabku, puas.
“Jadi Lo beneran cinta sama Gue?”
 
“Oh My God!! What The Banana!! Iya Neeem! Gue cinta sama Lo!!” Rasa gemas ku mencapai level maksimal.

“Cinta monyet doang, khan?”

Nah, ini dia yang paling tak bisa kuterima dengan lapang dada. Lagi-lagi diragukan! Grrrr, benar-benar mengesalkan.

“Maksud Lo?” Ujarku dengan raut wajah pura-pura tersinggung.
“Yah, cinta Lo pasti nggak sungguh-sungguh sama Gue. Cinta Lo di mulut aja, dan nggak bakal lama. Ujung-ujungnya Lo pasti ninggalin Gue.”

“Nggak bakal, Nem! cinta Gue sama Lo serius. 100% original, asli bukan kawe.”
“Lo juga bilang gitu khan, waktu nembak si Ipah sama Inah?”
“Ya, Iya sih.”
“Nah, udah Gue kira. Lo pasti akan ninggalin Gue juga, kayak Lo ninggalin mereka dulu.”
“Nggak akan, Nem. Nggak akan!”
“Kok bisa beda?” Inem sangsi.
“Karena Lo juga beda sama mereka. Mereka keganjenan! Pake acara selingkuh berkali-kali segala di belakang Gue. Buat apa Gue punya pacar yang hobi selingkuh? Makanya, lebih baik Gue tinggalin aja.”
Inem mengikik, lalu mengdipkan sebelah matanya padaku. Kedua tangannya tertidur manis di pangkuannya. Gadis yang satu ini memang benar-benar menarik hati. Sebentar Inem berdehem, “Terus, Lo yakin Gue nggak akan selingkuh juga?”
“Gue yakin.”
“Yakin dari mana?” Inem masih sangsi.   
“Cinta Gue yang bilang.”
“Prett!!” Ledeknya sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi, akhirnya Inem luluh juga. “Oke deh. Gue pikir-pikir dulu. Gue nggak bisa sembarangan nerima cinta orang. Apalagi kalo ternyata cuman cinta monyet,”

WE.O.WE

WOW

Oh, Inem. Seharusnya engkau tahu, bahwa dirimu telah menancapkan sebuah panah tepat di jantungku. Panah cinta yang sangat tajam—lebih tajam daripada pisau pedagang sayuran—tapi hangat dan memberiku kebahagiaan.

“Percaya deh, sama Gue. Cinta Gue nggak sekedar cinta monyet! Gue cinta orang sama Lo, Nem!”
“Cinta orang apaan? Hidung Lo aja kayak monyet.” Ledek Inem sambil mengikik sebelum melangkah pergi.

Ya Ampun, kalau bukan karena cinta, sudah ku gigit kupingnya dari tadi. Tapi aku tak boleh esmosi. Aih, emosi. ini adalah bentuk ujian yang diberikan Inem kepada para pencintanya. Aku tak boleh menyerah seperti Lewis dan Antonio. Aku harus lulus! Akan kubuktikan cintaku pada Inem lebih dari sekedar cinta monyet.
* * * * *


Esok paginya, aku bangun lebih cepat. Matahari masih berselimut dan menguap saat aku selesai mandi—tidak lupa menggosok gigi—dan menyisir rambut hingga rapi. Masih sempat kucomot dua buah pisang dari setandan penuh tergeletak begitu saja di atas meja makan sebelum bersiap-siap keluar rumah.

“Mau kemana Lo, John?”

Suara emak menggetarkanku. Aduh, jangan sampai dimintai tolong yang macam-macam! Ini hari terpenting dalam hidupku. Hari dimana aku akan mendengar jawaban dari sebuah pernyataan cinta. Kunci menuju masa depan yang lebih cerah akan segera kudapatkan. Takkan kubiarkan seorangpun menghentikan langkahku menjemput kebahagiaan itu.

“Ke rumah si Inem, Mak.” Jawabku pelan.
“Hah? Si Inem anaknya kepala desa?”
“Yo’i mak.”

“Mau ngapain Lo ke sana? Ngintip dia mandi?” Kata Mak sambil tertawa mengikik. Aku manyun. Enak aja nih mak-mak.
“Ya nggak dong, Mak. Sejelek-jeleknya Saya tapi kan gak ada tampang kriminal.”
“Terus mau ngapain dong? Minta sumbangan?”
“Ya enggak juga sih Mak. Saya mau dengar jawaban dia.”
“Ha? Emang kapan Lo main tebak-tebakan sama dia?”

Buset! Bubur tumpah di keset. Ini mak-mak resek nya bukan main. Rasanya aku jadi eneg juga.

“Bukan Mak! Bukan! Kemarin saya nyatain cinta sama dia. Sekarang saya mau dengar jawaban dia.”

Jurusku ampuh. Mak mati kutu, eh… Mati kata. Sebentar ia diam, menatapku lama. Aku tersenyum puas. Sebentar lagi pasti mak akan memujiku karena bangga. Fufufu…

“Ah, Mak nggak percaya.”
“Serius Mak. Saya cinta sama Inem.”
“Cinta monyet doang, khan?”

Nah, lagi-lagi ini. Diragukan. Kalau aku gunung, maka aku sudah meletus sekarang. Kemarin Inem, sekarang Emak. Terlebih lagi kata-katanya sama dengan yang diucapkan inem kemarin. Cinta monyet! Rasanya bosan mendengar kata itu. Cinta monyet-cinta monyet-cinta monyet!

“Bukan cinta monyet, Mak. Cinta sungguhan! Cinta orang!”
“Nggak mungkin!” Balas Mak cepat.
“Kok nggak mungkin?”
“Hidung Lo aja kayak hidung monyet. Bibir Lo aja bibir monyet. Bokong Lo…”
“STOOP! STOP!! WOII!!! Capek banget denger kata monyet! Gini deh, Mak. Kalau Inem menerima cinta saya, Mak harus merestui hubungan kami.”
“Oke. Tapi kalau Lo ditolak, Lo harus ngaku kalo hidung Lo mirip monyet, bibir Lo mirip monyet, Muka Lo mirip monyet dan cinta Lo itu juga cinta monyet.”

Lagi-lagi itu. Huh! Sekarang mengesalkan saja tak cukup untuk menggambarkan perasaanku bila diragukan. Aku juga mulai muak saudara-saudara! Semoga saja diterimanya cintaku oleh Inem bisa jadi pembuktian diriku kepada semua orang!

“Ya udah. Kalau gitu saya pamit dulu, Mak.”
 
 

Dan akupun melangkah pergi, menuju rumah Inem dengan semangat 46. Semangat 45 saja belum cukup. Mesti lebih.

“John…”

Sebuah suara yang lirih dan merdu memanggilku dari pinggir jalan. Tak perlu ku lirik lagi, sudah pasti itu Inem. Gadis yang satu ini memang bersuara khas. Serak-serak becek.

“Lo kok di sini, Nem? Gue baru aja mau ke rumah Lo.”
“Iya, maaf deh. Di rumah lagi banyak tamu dari kelurahan. Gue nggak mau masalah pribadi Gue dibahas di dekat orang rame.” Inem menjelaskan.

Wah. Panah yang kemarin ditancapkan Inem di jantungku menancap makin dalam. Dadaku menjadi semakin sesak. Oh, Aku mencintai gadis ini. Sungguh-sungguh mencintainya…

“Jadi gimana, Nem? Lo nerima cinta Gue kan?”

Inem diam.
Ia menatapku dalam, lalu berbisik, “Maafin Gue John. Sebenernya Gue mau nerima cinta Lo, tapi…”

Inem diam lagi. Agaknya ia berusaha mencari kata-kata yang tepat. Sementara aku mematung di hadapannya, dengan mata melotot dan mulut menganga.

“Tapi apa, Nem? Jawab plis…”

Inem masih diam. Suasana yang tadi terasa begitu manis dan romantis, sekarang mulai terasa menegangkan dan menyedihkan. Aura penolakan begitu kuat memancar dari tubuh Inem yang seksi.

“Tapi Gue masih kurang yakin. Nggak tau juga kenapa. Dan setelah Gue tanyain ayah Gue tadi malam, dia bilang…”
“Bokap Lo bilang apa, Nem?”

Inem menarik nafas, dalam. “Ayah Gue bilang, Gue harus nikah sama anak kepala desa tetangga. Menurut ayah, dia lebih baik buat Gue. Lebih kaya lagi. Dan…”

Hancur sudah harapanku. Inem adalah anak baik yang sangat penurut dan taat kepada orang tuanya. Tak mungkin ia akan membantah bila ayahnya menginginkan ia menikah dengan pria lain. Tapi masih ada harapan. Inem masih menggantung kalimatnya pada kata dan…

“Dan apa, Nem?”
“Dan Bokap Gue bilang, Gue sama sekali gak boleh nerima cinta Lo. Karena cinta Lo cuman cinta monyet.”

Oh, Nooo!!! Panah yang ditancapkan Inem di jantungku kemarin, ternyata tembus sampai ke belakang punggungku. Bunuh aja abang lagi dek. Rasanya aku mau mati saja sekarang. Separuh jiwaku pergi…

“Maafin Gue, John.” Bisik Inem perlahan. Lalu ia pun beranjak pergi.

Tinggallah aku sendiri, terpaku menatap langit. Ah, pagi tak pernah terasa semuram ini sebelumnya, walaupun matahari sudah memancarkan sinarnya lebih terang. Kemana akan kubawa derita ini? Bahkan kekesalan dan kemuakan yang kurasa karena diragukan tak lebih menyakitkan dari penolakan yang kualami detik ini. Aku hancur berkeping-keping. Garing.

Mungkin emak adalah yang paling gembira saat ini. Ia benar dan ia menang. Sementara aku kalah dan aku pasrah. Aku terpaksa harus mengaku kalau hidungku mirip monyet, bibirku mirip monyet, muka ku mirip monyet dan cintaku adalah cinta monyet. Ini terasa sangat sulit untukku, karena aku memang tak pernah mau mengaku. Walaupun sebenarnya aku, emak, Inem, Lewis, Antonio, Ipah dan Inah memang monyet. Ya, kami ini memang sekelompok monyet di hutan bukit barisan. Aku dan cintaku memang monyet, saudara-sauradara. Menyedihkan, memang.

32 komentar:

  1. kenapa harus sedih kalau jadi monyet..monyet kan juga butuh cinta dan kasih sayang........ nggak perlu jadi anak kepala desa yang kaya...cukup jadi monyet dan cintailah sesama monyet.... karena monyet juga (bukan) manusia...
    keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

    BalasHapus
  2. Aul...itu kamu...hebat banget..ajarin aku nulis cerpen donk...ehehehe...

    BalasHapus
  3. Monyet jugak butuh cinta.. Hihihi..

    Btw, aku ngebayangin si Inem pasti bohay abis. :P

    BalasHapus
  4. "Padahal aku selalu sungguh-sungguh dalam segala hal yang kukerjakan. Sungguh-sungguh. Namun sekarang, cintaku yang sedalam lautan dan sebening sungai di pegunungan diragukan layaknya genangan air comberan di perkotaan. Keterlaluan". Tulisan yang itu ada lebaynya juga ul xixi

    BalasHapus
  5. Mantap gan...
    Keren sob...

    Hehe, becanda kok aul..

    Aku pikir cintanya setajam SILET rupanya lebih tajam dari pisau pedagang sayuran..

    BalasHapus
  6. Eh gw ngomongin kata pengantar nya aja ya. Bener tuh. Emang nyebelin, tiap ngepos cerpen, selalu dapet komen2 gaje kayak, "mantap gan", "keren sob",.... Ga ada hubungannya sama ceritanya. Kayaknya perlu revolusi mental. Masyarakat blogger indonesia perlu dibiasakan sama postingan2 fiksi, bro... Hahaha....

    Maafkan daku, malah curcol..

    Gw suka cerpen lo, terutama yang soal mirip monyet. Jujur ul, lu bilang ringan kan. Gw bilang nggak. Bahasan lu lumayan berat juga sih. Seriusan!!!! Cukup filosofis soal cinta monyet. Mulai nggak heran kenapa diterima. Dan itu bikin gw iri. Peluk Aul dulu ah biar kecipratan tenarnya. Hahaha

    BalasHapus
  7. Ternyata maknya begitu juga, fankeh!

    menghibur banget kak ceritanya, saya kira ga akan betah baca sampai akhir, ternyata hanyut juga, penasaran sih!
    nem inem!

    By the way, berhubung bacaannya ringan dan anak muda banget, kalau semisal saya tempel cerpen abang ke majalah kampus saya mau kah? soalnya, kebetulan jabatan saya masih Pimpinan Redaksi nih, nyahaha.. balas di blogku aje ye! danke!

    BalasHapus
  8. Ini ceritanya keren..
    Gue nggak pernah bakat nulis cerpen.
    Dari satu paragrap ke paragrap selanjutnya kadang gak nyambung...
    hah, payah deh gue..

    BalasHapus
  9. Cerpennya bgus. Bkin asyik bacanya.

    BalasHapus
  10. Lucuk.

    Eh setauku HAI nerima cerpen cuman 6000cws doang deh. INi kok panjang banget yak

    BalasHapus
  11. Inem tipe wanita polos tah

    Btw itu berhasil dimuat di majalah yaa

    BalasHapus
  12. selalu suka dengan daya imaginasi kamu aul

    :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. AAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKK

      Ini mbak heny yang dulu itu?

      Hapus
  13. Keren sis, nice post #dikeplakAul

    EYD nya ya... Emak byk yg emak. Dimana hrsnya di mana... Koreksi lg yey

    BalasHapus

Thanks for dropping by!
Leave some comments here if you want. Use your gmail or blogger or google account to comment. If you do not have one, choose Name/URL.

For private comments or questions just send me email to Aulhowler@yahoo.com

Thank you :)